Judul Buku : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Tebal : 512 hal
Desain dan ilustrasi
sampul : eMTe
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
Harga : Rp 72.000,- (Toko Buku Gramedia Kendari)
Siapa tak kenal Tere Liye? Penulis
produktif Kelahiran Palembang 33 tahun yang lalu ini, adalah seorang lelaki
dengan kesederhanaan dan pemahaman hidup yang selalu dibaginya. Kita belajar
banyak hal lewat karya-karyanya, tentang pemahaman hidup sederhana, saling
berbagi, saling belajar, dan menerima hidup dengan damai. Tere liye selalu
mampu membuat kita tercengang dengan hal-hal kecil yang berserakan di sekitar
kita, yang kemudian diangkatnya menjadi sebuah karya yang hebat. Lantas, ketika
Tere Liye memutuskan untuk berbicara tentang cinta dalam novelnya, kita tahu
itu akan menjadi sesuatu yang sangat hebat.
Seperti yang ditulisnya di sampul
belakang novelnya yang tanpa sinopsis ini : “Ada tujuh miliar penduduk bumi
saat ini. jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada
satu miliar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam
setiap jam, dan nyaris setengah juta kali sehari semalam, seseorang entah di
belahan dunia mana, berbinar-binar, harap-harap cemas, gemetar malu-malu
menyatakan perasaanya.”
Nah, lantas siapakah di antara kita
yang tak pernah jatuh cinta? Siapakah di antara kita yang tak punya kisah cinta
sendiri? Kita selalu punya bukan, entah dengan alur cerita yang begitu hebat
untuk dibagi dengan orang lain. Atau sebuah kisah dengan rentetan kejadian aneh yang akan lebih bijak jika disimpan
sendiri. Diendapkan dalam sebuah kotak kayu yang kokoh, dengan kunci yang
sengaja sekali kita buang. Lantas disimpan selama bertahun-tahun di sudut hati
yang paling gelap. Separuh hati berpikiran waras dengan berusaha keras
melupakannya, sedang separuh yang lain malah gila berharap akan ada seseorang
yang menemukan kuncinya.
Kita memang selalu punya kisah
cinta, entah yang terjalin selama bertahun-tahun dengan semua bumbunya yang
rumit, atau bahkan sesederhana bertemu kakak kelas di kantin sekolah lantas
kita tahu kita jatuh cinta. Apapun itu, bagaimanapun sederhaanya kisah cinta
kita di mata orang lain, bagaimanapun cerita itu terdengar biasa, atau bahkan
sangat biasa. Kita akan selalu menganggapnya sesuatu yang hebat. Kurang hebat
apa lagi coba, bukankah kisah itu selalu mampu membuat kita tersenyum sendiri
tanpa alasan, bahkan membuat kita menangis tanpa sebab. Aneh, dan begitupun
denga kisah cinta Borno dan Mei dalam novel ini.
Bagi Borno, cinta selalu menjadi
sebuah pembahasan sederhana dengan jawaban yang sangat rumit. Sama sederhananya
dengan pertanyaan konyol masa kecilnya : Jika kita buang air besar di hulu
Kapuas, kira-kira akan butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di muara sungai?
Pertanyaan sederhana, dengan jawaban rumit yang tak pernah cukup untuk dibahas
sehari semalam. Kita mulai saja dari analogi sederhana, untuk mengetahui
waktunya tentu saja tidak akan jauh berbeda dengan waktu yang kita perlukan
untuk sampai di hulu Kapuas. Dan seperti jawaban Pak Tua yang bijak, waktu yang
diperlukan untuk perjalanan itu selalu berbanding lurus dengan beberapa faktor
pendukungnya. Tergantung perahu yang digunakan, tergantung seberapa tangguh
pengemudinya, dan juga musim keberangkatannya. Jadi jelas bukan, sebuah
pertanyaan yang sama akan mendapat banyak jawaban yang berbeda. Begitupun
dengan cinta. Pertanyaan sederhana semisal : Apa itu cinta? Tentu saja akan mendapat
banyak jawaban yang berbeda. Tergantung siapa yang menjawab? Bagaimana
pemahamannnya? Bagaimana pengalamannya? Atau bahkan bagaimana tangguhnya dia
dalam cinta itu sendiri? Sederhana? Ya, pertanyaannya! Tapi jawabannya? Itu
soal lain!
Cinta adalah sebuah perasaan yang
aneh, dia datang dan juga pergi tanpa permisi. Tak jarang, sebuah kisah cinta
yang indah terjalin hanya dari sebuah pertemuan yang sederhana, dan Tere Liye
paham betul masalah ini. Lihat saja ceritanya tentang Borno, pemuda pengemudi sepit
itu hanya membutuhkan sekali pertemuan untuk jatuh hati dengan wanita
pujaannya, si gadis Cina peranakan. Itupun bukan pertemuan yang hebat, bukan saling
bertabrakan di lobi hotel megah atau duduk berdampingan di sebuah konser
tunggal yang mewah. Mereka hanya bertemu di Sepit Borno, sekali, dan cukup
sudah untuk membuat Borno tahu ada sesuatu yang aneh terjadi dengan hatinya.
Cinta? Entahlah. Bagaimana pula rasanya itu. Dia buta sekali masalah itu. Dia
hanya tahu hatinya berdesir, dan kemudian ingin bertemu lagi dengan gadis itu,
atau paling tidak ingin sekali melihatnya lagi. Dan syukurlah, takdir
memberinya alasan untuk itu. Gadis itu, melupakan sesuatu di sepitnya, sebuah
surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama. Berpikir Borno akan membuka sampul
surat itu? Mungkin sedikit mengintip isinya untuk tahu itu dari siapa, dan
untuk siapa? Hey, jangan sebut Borno bujang
berhati paling lurus sepanjang tepian Kapus jika dia sampai melakukan
hal-hal tercela itu. Lihatlah apa yang dilakukannya? Menyimpan surat ini
baik-baik, dengan harapan besar akan bertemu gadis berwajah sendu menawan itu
lagi. Mengembalikan surat itu. Itu saja, boleh jadi dengan perasaan yang
bergemuruh.
Selanjutnya? Ah pemuda berhati lurus itu tahu kalau surat bersampul
merah itu hanya satu dari sekian banyak surat serupa yang dibagi-bagiakan Mei
di dermaga sepit. Hanya angpau biasa, tidak lebih, tidak kurang. Sama dengan
puluhan angpau yang hari itu juga dibagikannya, mungkin yang satu itu memang
bagian Borno. Jatah, atau apalah.
Sayang, pemuda jujur itu tak pernah
membuka angpau-nya. Malah menyimpannya hati-hati, bersih, terjaga serupa
pertama kali ditemukannya. Membuka dan langsung meraup beberapa rupiah isinya? Lupakan!
Nilai kenangan dan sejarah yang terkandung di dalam angpau-nya jauh lebih besar
dari beberapa lembar rupiah itu. Sayang sekali jika dirusak, disimpannya saja.
Ah, orang jatuh cinta memang sedikit sekali bedanya dengan orang bodoh.
Padahal, kalau saja dia mau sedikit saja mengintip isinya, tentu saja dia akan tahu
itu bukan angpau sembarang, sama sekali tak biasa. Tentu saja spesial. Bukankah
angpau itu menghubungkan masa lalu, masa kini, dan mungkin pula masa depan
mereka.
Sayangnya, Borno memang tak pernah
tega membuka angpau-nya, tak pernah tega merusak sampul merah yang dilem rapi
itu. Borno tidak pernah tahu apa isinya, tak pernah tahu rahasia yang terukir
rapi di dalamnya, dia hanya tahu satu hal, hidupnya tak pernah sama lagi
setelah dia bertemu gadis itu. Sayangnya lagi, pemuda kita ini hanya bisa mencuri-curi
pandang, malu-malu memulai pembicaraan. Berkata ‘hai’ saja bibirnya gemetar
bukan main. Jadilah, Borno hanya bisa menunggu 23 jam 45 menit untuk 15 menit
bertemu dengan si sendu menawan. Gadis yang belakangan diketahuinya bernama
aneh, serupa nama bulan, Mei. Gadis yang boleh jadi bersangkut paut dengan
sebagian besar garis kehidupan Borno. Garis kehidupan yang berat dengan
pemahaman hidup yang baik.
Kisah cinta Borno dan Mei memang menyuguhkan
rangkaian kisah cinta dengan tema biasa yang disulap Tere Liye menjadi sangat
luar biasa. Ditambah lagi dengan penuturan alur campurannya, yang lihai sekali
menyimpan beberapa subtansi dasar dari cerita ini, sekaligus juga mencungkil
beberapa bagiannya sepanjang cerita. Kita akan dibuat menikmatinya tanpa batas,
bahkan tidak rela melepaskan buku ini sebelum menamatkannya. Tere Liye juga
mampu membuat perwatakan dengan tokoh yang kuat, membuat kita membayangkan
seakan-akan mereka hidup, dan gilanya lagi tanpa sadar kita akan menjalin
hubungan emosional dengan para tokohnya. Merasa menjadi bagian dari gaya hidup
mereka, ikut sedih, ikut terharu. Tere Liye juga mampu menghadirkan Kota
Pontianak dan sungai Kapuas dalam setiap lembar novel ini. Membuat kita seakan
ikut terbang ke kota si Ponti, lantas menjuntai kaki di sepit Borno, dan
diam-diam ikut menyaksikan semua garis kehidupannya.
Lewat
novel ini, Tere Liye juga menegaskan kemampuan dalam menggunakan sudut pandang
orang pertama dengan penuturan yang menakjubkan, membuat setiap pembaca merasa
Borno bercerita langsung untuk mereka.
Novel ini memang menyuguhkan
rangkaian kata yang mengalir deras sederas aliran sungai kapuas yang menjadi
setting utama cerita ini. rangkaian kata khas Tere Liye yang selalu mampu
mebuat kita terhipnotis dan tanpa sadar membenarkan pemahamannya.
Mengangguk-ngangguk setuju, dan akhirnya menghela napas berat saat sadar hanya
tersisa beberapa lembar yang belum dibaca.
Novel
ini memang sebagian besar bercerita tentang cinta, namun tentu saja dengan
pemahaman yang baik. Di tangan Tere Liye, cinta tidak lagi menjadi sesuatu yang
menyedihkan dan menakutkan. Cinta justru menjadi penyemangat dan suratan
takdir. Buku ini membuat kita tersadar untuk tidak terlalu berpikir banyak tentang
cinta, cukup melakukan yang terbaik dan selanjutnya serahkan saja pada waktu
dan takdir. Suatu pemahaman yang sederhana untuk sesuatu yang awalnya terlihat
rumit. .
Buku ini benar-benar cocok untuk
dibaca berbagai kalangan yang ingin lebih bijak dalam memahami cinta.
Mereka-mereka yang patah hati, akan menyadari betapa bodohnya mereka merusak
diri sendiri untuk sebuah cinta yang pergi, tanpa ada jaminan tak akan pernah
kembali. Mereka yang tak pernah jatuh cinta, akan menyadari cinta bisa muncul
kapan saja, tak perlu bersusah-susah dicari, tak perlu rusuh dikejar. Sedang
mereka yang sedang jatuh cinta, akan mengurangi intensitasnya mengumbar kata
mesra. Bijak dengan memahami bahwa cinta adalah perbuatan dan bukan sekedar
kata-kata manis. Dan cinta selalu punya waktu dan jalan yang baik.
Terakhir, semua orang yang membaca
buku ini, tak akan lagi berpikiran bahwa CINTA hanyalah Cerita Indah Tanpa
Arti.
Biodata Penulis
Nama : Wahyuni Kasno
Cp : 0853 9799 8314
Email : wahyukasno@ymail.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar