Jumat, 29 Juni 2012

KETIKA TERE LIYE BICARA CINTA



Judul Buku      : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis             : Tere Liye
Tebal               : 512 hal
Desain dan ilustrasi sampul     : eMTe
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit    : 2012
Harga              : Rp 72.000,- (Toko Buku Gramedia Kendari)
            Siapa tak kenal Tere Liye? Penulis produktif Kelahiran Palembang 33 tahun yang lalu ini, adalah seorang lelaki dengan kesederhanaan dan pemahaman hidup yang selalu dibaginya. Kita belajar banyak hal lewat karya-karyanya, tentang pemahaman hidup sederhana, saling berbagi, saling belajar, dan menerima hidup dengan damai. Tere liye selalu mampu membuat kita tercengang dengan hal-hal kecil yang berserakan di sekitar kita, yang kemudian diangkatnya menjadi sebuah karya yang hebat. Lantas, ketika Tere Liye memutuskan untuk berbicara tentang cinta dalam novelnya, kita tahu itu akan menjadi sesuatu yang sangat hebat.
            Seperti yang ditulisnya di sampul belakang novelnya yang tanpa sinopsis ini : “Ada tujuh miliar penduduk bumi saat ini. jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu miliar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik,  300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta kali sehari semalam, seseorang entah di belahan dunia mana, berbinar-binar, harap-harap cemas, gemetar malu-malu menyatakan perasaanya.”
            Nah, lantas siapakah di antara kita yang tak pernah jatuh cinta? Siapakah di antara kita yang tak punya kisah cinta sendiri? Kita selalu punya bukan, entah dengan alur cerita yang begitu hebat untuk dibagi dengan orang lain. Atau sebuah kisah dengan rentetan kejadian aneh yang akan lebih bijak jika disimpan sendiri. Diendapkan dalam sebuah kotak kayu yang kokoh, dengan kunci yang sengaja sekali kita buang. Lantas disimpan selama bertahun-tahun di sudut hati yang paling gelap. Separuh hati berpikiran waras dengan berusaha keras melupakannya, sedang separuh yang lain malah gila berharap akan ada seseorang yang menemukan kuncinya.
            Kita memang selalu punya kisah cinta, entah yang terjalin selama bertahun-tahun dengan semua bumbunya yang rumit, atau bahkan sesederhana bertemu kakak kelas di kantin sekolah lantas kita tahu kita jatuh cinta. Apapun itu, bagaimanapun sederhaanya kisah cinta kita di mata orang lain, bagaimanapun cerita itu terdengar biasa, atau bahkan sangat biasa. Kita akan selalu menganggapnya sesuatu yang hebat. Kurang hebat apa lagi coba, bukankah kisah itu selalu mampu membuat kita tersenyum sendiri tanpa alasan, bahkan membuat kita menangis tanpa sebab. Aneh, dan begitupun denga kisah cinta Borno dan Mei dalam novel ini.
            Bagi Borno, cinta selalu menjadi sebuah pembahasan sederhana dengan jawaban yang sangat rumit. Sama sederhananya dengan pertanyaan konyol masa kecilnya : Jika kita buang air besar di hulu Kapuas, kira-kira akan butuh berapa hari kotoran itu akan tiba di muara sungai? Pertanyaan sederhana, dengan jawaban rumit yang tak pernah cukup untuk dibahas sehari semalam. Kita mulai saja dari analogi sederhana, untuk mengetahui waktunya tentu saja tidak akan jauh berbeda dengan waktu yang kita perlukan untuk sampai di hulu Kapuas. Dan seperti jawaban Pak Tua yang bijak, waktu yang diperlukan untuk perjalanan itu selalu berbanding lurus dengan beberapa faktor pendukungnya. Tergantung perahu yang digunakan, tergantung seberapa tangguh pengemudinya, dan juga musim keberangkatannya. Jadi jelas bukan, sebuah pertanyaan yang sama akan mendapat banyak jawaban yang berbeda. Begitupun dengan cinta. Pertanyaan sederhana semisal : Apa itu cinta? Tentu saja akan mendapat banyak jawaban yang berbeda. Tergantung siapa yang menjawab? Bagaimana pemahamannnya? Bagaimana pengalamannya? Atau bahkan bagaimana tangguhnya dia dalam cinta itu sendiri? Sederhana? Ya, pertanyaannya! Tapi jawabannya? Itu soal lain!
            Cinta adalah sebuah perasaan yang aneh, dia datang dan juga pergi tanpa permisi. Tak jarang, sebuah kisah cinta yang indah terjalin hanya dari sebuah pertemuan yang sederhana, dan Tere Liye paham betul masalah ini. Lihat saja ceritanya tentang Borno, pemuda pengemudi sepit itu hanya membutuhkan sekali pertemuan untuk jatuh hati dengan wanita pujaannya, si gadis Cina peranakan. Itupun bukan pertemuan yang hebat, bukan saling bertabrakan di lobi hotel megah atau duduk berdampingan di sebuah konser tunggal yang mewah. Mereka hanya bertemu di Sepit Borno, sekali, dan cukup sudah untuk membuat Borno tahu ada sesuatu yang aneh terjadi dengan hatinya. Cinta? Entahlah. Bagaimana pula rasanya itu. Dia buta sekali masalah itu. Dia hanya tahu hatinya berdesir, dan kemudian ingin bertemu lagi dengan gadis itu, atau paling tidak ingin sekali melihatnya lagi. Dan syukurlah, takdir memberinya alasan untuk itu. Gadis itu, melupakan sesuatu di sepitnya, sebuah surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama. Berpikir Borno akan membuka sampul surat itu? Mungkin sedikit mengintip isinya untuk tahu itu dari siapa, dan untuk siapa? Hey, jangan sebut Borno bujang berhati paling lurus sepanjang tepian Kapus jika dia sampai melakukan hal-hal tercela itu. Lihatlah apa yang dilakukannya? Menyimpan surat ini baik-baik, dengan harapan besar akan bertemu gadis berwajah sendu menawan itu lagi. Mengembalikan surat itu. Itu saja, boleh jadi dengan perasaan yang bergemuruh.
              Selanjutnya? Ah pemuda berhati lurus itu tahu kalau surat bersampul merah itu hanya satu dari sekian banyak surat serupa yang dibagi-bagiakan Mei di dermaga sepit. Hanya angpau biasa, tidak lebih, tidak kurang. Sama dengan puluhan angpau yang hari itu juga dibagikannya, mungkin yang satu itu memang bagian Borno. Jatah, atau apalah.
            Sayang, pemuda jujur itu tak pernah membuka angpau-nya. Malah menyimpannya hati-hati, bersih, terjaga serupa pertama kali ditemukannya. Membuka dan langsung meraup beberapa rupiah isinya? Lupakan! Nilai kenangan dan sejarah yang terkandung di dalam angpau-nya jauh lebih besar dari beberapa lembar rupiah itu. Sayang sekali jika dirusak, disimpannya saja. Ah, orang jatuh cinta memang sedikit sekali bedanya dengan orang bodoh. Padahal, kalau saja dia mau sedikit saja mengintip isinya, tentu saja dia akan tahu itu bukan angpau sembarang, sama sekali tak biasa. Tentu saja spesial. Bukankah angpau itu menghubungkan masa lalu, masa kini, dan mungkin pula masa depan mereka.  
            Sayangnya, Borno memang tak pernah tega membuka angpau-nya, tak pernah tega merusak sampul merah yang dilem rapi itu. Borno tidak pernah tahu apa isinya, tak pernah tahu rahasia yang terukir rapi di dalamnya, dia hanya tahu satu hal, hidupnya tak pernah sama lagi setelah dia bertemu gadis itu. Sayangnya lagi, pemuda kita ini hanya bisa mencuri-curi pandang, malu-malu memulai pembicaraan. Berkata ‘hai’ saja bibirnya gemetar bukan main. Jadilah, Borno hanya bisa menunggu 23 jam 45 menit untuk 15 menit bertemu dengan si sendu menawan. Gadis yang belakangan diketahuinya bernama aneh, serupa nama bulan, Mei. Gadis yang boleh jadi bersangkut paut dengan sebagian besar garis kehidupan Borno. Garis kehidupan yang berat dengan pemahaman hidup yang baik.
            Kisah cinta Borno dan Mei memang menyuguhkan rangkaian kisah cinta dengan tema biasa yang disulap Tere Liye menjadi sangat luar biasa. Ditambah lagi dengan penuturan alur campurannya, yang lihai sekali menyimpan beberapa subtansi dasar dari cerita ini, sekaligus juga mencungkil beberapa bagiannya sepanjang cerita. Kita akan dibuat menikmatinya tanpa batas, bahkan tidak rela melepaskan buku ini sebelum menamatkannya. Tere Liye juga mampu membuat perwatakan dengan tokoh yang kuat, membuat kita membayangkan seakan-akan mereka hidup, dan gilanya lagi tanpa sadar kita akan menjalin hubungan emosional dengan para tokohnya. Merasa menjadi bagian dari gaya hidup mereka, ikut sedih, ikut terharu. Tere Liye juga mampu menghadirkan Kota Pontianak dan sungai Kapuas dalam setiap lembar novel ini. Membuat kita seakan ikut terbang ke kota si Ponti, lantas menjuntai kaki di sepit Borno, dan diam-diam ikut menyaksikan semua garis kehidupannya.
Lewat novel ini, Tere Liye juga menegaskan kemampuan dalam menggunakan sudut pandang orang pertama dengan penuturan yang menakjubkan, membuat setiap pembaca merasa Borno bercerita langsung untuk mereka.
            Novel ini memang menyuguhkan rangkaian kata yang mengalir deras sederas aliran sungai kapuas yang menjadi setting utama cerita ini. rangkaian kata khas Tere Liye yang selalu mampu mebuat kita terhipnotis dan tanpa sadar membenarkan pemahamannya. Mengangguk-ngangguk setuju, dan akhirnya menghela napas berat saat sadar hanya tersisa beberapa lembar yang belum dibaca.
Novel ini memang sebagian besar bercerita tentang cinta, namun tentu saja dengan pemahaman yang baik. Di tangan Tere Liye, cinta tidak lagi menjadi sesuatu yang menyedihkan dan menakutkan. Cinta justru menjadi penyemangat dan suratan takdir. Buku ini membuat kita tersadar untuk tidak terlalu berpikir banyak tentang cinta, cukup melakukan yang terbaik dan selanjutnya serahkan saja pada waktu dan takdir. Suatu pemahaman yang sederhana untuk sesuatu yang awalnya terlihat rumit.           .
            Buku ini benar-benar cocok untuk dibaca berbagai kalangan yang ingin lebih bijak dalam memahami cinta. Mereka-mereka yang patah hati, akan menyadari betapa bodohnya mereka merusak diri sendiri untuk sebuah cinta yang pergi, tanpa ada jaminan tak akan pernah kembali. Mereka yang tak pernah jatuh cinta, akan menyadari cinta bisa muncul kapan saja, tak perlu bersusah-susah dicari, tak perlu rusuh dikejar. Sedang mereka yang sedang jatuh cinta, akan mengurangi intensitasnya mengumbar kata mesra. Bijak dengan memahami bahwa cinta adalah perbuatan dan bukan sekedar kata-kata manis. Dan cinta selalu punya waktu dan jalan yang baik.
            Terakhir, semua orang yang membaca buku ini, tak akan lagi berpikiran bahwa CINTA hanyalah Cerita Indah Tanpa Arti.

Biodata Penulis
Nama               : Wahyuni Kasno
Cp                   : 0853 9799 8314
Email               : wahyukasno@ymail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar